Ditulis Oleh ; Wawin
Semburat matahari pagi merambat di antara rumah-rumah yang berjajar. Ayam berokok bersahut. Aku sudah sejak tadi bangun, namun masih sibuk dengan aktivitas pagi seperti biasanya. Ibu sedang menikmati secangkir teh dan pisang goreng. Aku lihat dapur sudah bersih. Di meja sudah siap makanan untuk hari ini. Tampak senyumnya setelah melihatku.
“Kamu sudah siap, Gas?” S\sapanya.
“Ya begitulah, Bu.”
“Bermainlah semampu kamu dan fokus saja pada permainan.”
“Iya, Bu. Tapi aku masih takut dan ragu, Bu.”
“Sudah … enggak usah dihiraukan kejadian kemarin. Enggak ada salahnya dengan kamu anak si tukang urut.”
“Amin … Iya, Bu.”
Setelah sarapan, aku siap berangkat. Di ruang tamu tampak bapak lagi mengurut Kang Udin yang kemarin keseleo tangannya karena jatuh dari pohon mangga.
“Pak, berangkat dulu, Yah. Do’akan kami menang yah!”
“Iya, pasti. Jangan ulangi lagi kejadian kemarin. Anggap saja kamu gak dengar, konsentrasi aja pada pertandingan. Bapak gak mau dengar kamu ditarik ke luar lapangan karena tindakan konyolmu,” nasihat Bapak.
Masih teringat jelas pertandingan semifinal kemarin. Banyak yang meneriakan namaku, memberikan motivasi. Tapi ada beberapa suara yang membuatku jengkel.
“Woi … anak dukun main! Anak tukang uruttu! Hati-hati nanti kena smashnya,” teriak seseorang sambil tertawa.
“Iya, ngalah ajalah nanti kena guna-guna dan jampi-jampi bapaknya,” teriakan Julian sambil tertawa, diikuti teman-temannya.
Teriakan itu ditujukan kepadaku karena bapakku emang terkenal dengan tukang urut, baik dikampungku maupun kampung sebelah. Kejengkelanku berdampak pada permainanku. Smashku berkali-kali gagal, sehingga aku harus ditarik keluar lapangan oleh guruku.
***
“Preiiittt … Preiiittt.” peluit tanda pertandingan dimulai, ditiup wasit.
Julian melakukan pukulan pertama. Dia mengarahkan bola ke arahku yang di posisi 1.
“Dukun … nih ambil, bolanya!” teriaknya.
Dengan tenang kuterima bola tersebut dan kuarahkan ke Anton yang bertindak sebagai tosser. Anton mengumpan ke arah Dian, dan menyemashnya ke arah kanan Julian. Julian tampak kesal karena tidak bisa menerima bola. Poin pertama untuk tim kami.
Pertandingan berjalan seru. Tim kami memimpin dengan skor 11-7. Kami bermain penuh semangat. Aku benar-benar melupakan ejekan-ejekan yang ditujukan kepadaku baik dari Julian maupun pendukung SD Lebar. Tentunya karena guru dan juga teman-teman yang selalu memotivasiku. Set pertama kami menang dengan skor 15-9.
Set kedua berjalan dengan sengit. Terjadi jual beli serangan antara tim kami dan tim Julian. Kami bermain semakin solid. Tim Julian kalang kabut. Pelatihnya berkali-kali meminta waktu untuk istirahat agar dapat memberikan arahan. Julian memandang ke arahku. Pandangannya penuh amarah.
Pertandingan kembali dilanjutkan. Anton mengumpan bola ke arahku. Kupukul dangan kuat. Julian melompat untuk memblock.
“Buk” bola tepat mengenai muka Julian dan meninggalkan lapangan. Julian jatuh tersungkur. Teriakan-teriakan penonton semakin riuh. Ada yang mendesis menyanyangkan kondisi Julian. Aku berlari ke arah Julian untuk meminta maaf, tapi Julian mendorongku dengan kasar. Wasit menenangkan kami.
Pertandingan kembali dilanjutkan. Dian melakukan servis dan diterima oleh Nadar yang bertindak sebagai libero SD Lebar. Julian menerima umpan dari temanya. Dia mengarahkan smashnya ke arahku. Aku meghindar hingga jatuh.
“Preiit … preiit … preiit …” wasit meniup peluit menandakan bola keluar, pertandingan berakhir. Kami menang. Teman-temanku memelukku. Ku lihat Julian di angkut oleh tandu, kakinya keseleo karena salah mendarat saat habis melakukan smash. ***